Di jantung Provinsi Riau, sekitar lima jam perjalanan darat dari Pekanbaru, tersisa sepotong hutan dataran rendah yang kini menjadi salah satu simbol pertarungan terbesar antara alam dan keserakahan manusia: Taman Nasional Tesso Nilo. Di atas kertas, kawasan ini adalah rumah bagi gajah sumatra, harimau, tapir, beruang madu, hingga ratusan jenis tumbuhan langka. Namun di lapangan, lebih dari separuh areanya sudah berubah menjadi kebun kelapa sawit dan permukiman. Tesso Nilo adalah tempat di mana hutan hujan tropis, kebun sawit, kampung baru, dan konflik ruang hidup bertemu dalam satu lanskap yang sama.
Secara resmi, luas Taman Nasional Tesso Nilo ditetapkan sekitar 167.000 hektare. Tetapi sekitar 100.000 hektare di antaranya kini telah menjadi kebun sawit, baik yang dikelola penduduk lokal maupun para pendatang. Banyak dari mereka membuka lahan, menanam sawit, bahkan membangun kampung lengkap dengan rumah, sekolah, musala, dan fasilitas lain—tanpa pernah benar-benar tahu bahwa mereka tinggal di dalam kawasan taman nasional. Di mata petani, ini hanyalah “lahan kosong” yang tidak diurus siapa pun. Di mata konservasi, ini adalah salah satu benteng terakhir bagi keanekaragaman hayati dataran rendah Sumatra.
Kisah Tesso Nilo tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang eksploitasi hutan di Indonesia. Pada 1970-an, kawasan ini berada di bawah izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang diberikan kepada dua perusahaan: PT Dwi Marta dan PT Nanjak Makmur, dengan konsesi sekitar 160.000 hektare. Jalan logging dibuka, pohon-pohon besar ditebang, kayu diangkut keluar hutan tahun demi tahun. Pada awal 1990-an, PT Dwi Marta diambil alih oleh BUMN PT Inhutani IV, yang melanjutkan penebangan sampai sekitar 1998. Ketika kayu berkualitas tak lagi banyak tersisa, izin Hutan Tanaman Industri diajukan, dan tekanan terhadap hutan tetap berlanjut.
Baca Juga: 6 Destinasi Wisata Bahari Terbaik di Indonesia, Pilihan Tepat untuk Liburan Keluarga
Di tengah situasi ini, pada 2001 WWF mengusulkan agar sekitar 120.000 hektare hutan Tesso Nilo ditetapkan sebagai taman nasional untuk melindungi habitat gajah sumatra yang semakin terdesak. Setelah proses panjang tarik-menarik antara pusat dan daerah, izin PT Inhutani IV dicabut dan pengelolaan dikembalikan kepada negara. Tahun 2003, Taman Nasional Tesso Nilo resmi dibentuk dengan luas awal 57.000 hektare, lalu diperluas dengan memasukkan HPT seluas 38.000 hektare. Pada 2009, eks konsesi PT Nanjak Makmur seluas 44.000 hektare ikut digabungkan, dan pada 2014 luasnya ditetapkan menjadi 81.793 hektare. Di atas kertas, Tesso Nilo menjadi salah satu kawasan konservasi terpenting di Sumatra. Di lapangan, prosesnya jauh lebih rumit: ketika status hutan berubah, banyak orang sudah terlanjur tinggal dan menggantungkan hidup dari lahan yang kini disebut taman nasional.
Secara geografis, Tesso Nilo berada di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu, pada ketinggian 100–200 meter di atas permukaan laut. Topografinya relatif datar hingga sedikit bergelombang, dengan kombinasi lahan kering dan rawa dataran rendah. Curah hujannya tinggi, mencapai 2.000–3.000 mm per tahun, menjadikannya salah satu contoh ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah yang tersisa di Sumatra. Di sinilah salah satu ironi besar terjadi: di saat banyak daerah lain sudah habis dibuka, Tesso Nilo justru menyimpan salah satu keanekaragaman hayati terkaya di dunia, tetapi kini terancam karena tekanan pembukaan lahan yang sama.
Penelitian LIPI dan WWF pada 2003 menemukan bahwa di petak hutan seluas hanya satu hektare, terdapat 360 jenis flora yang tergolong dalam 165 marga dan 57 suku. Angka ini bukan sekadar statistik; ini menunjukkan betapa “padat” dan rumitnya kehidupan di dalam hutan Tesso Nilo. Di sana tumbuh pohon-pohon bernilai tinggi seperti kempas, kayu bata, kulim, jelutung, gaharu, tembusu, ramin, meranti, dan keruing—banyak di antaranya sudah masuk daftar merah IUCN karena terancam punah. Selain itu, terdapat puluhan jenis tanaman obat, termasuk pasak bumi, jerangau, kunyit bolai, dan berbagai rempah lokal yang sejak lama dimanfaatkan masyarakat.
Dari sisi fauna, Tesso Nilo bisa disebut sebagai “galeri hidup” satwa liar Sumatra. Di sini, kita masih bisa menemukan jejak harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), macan dahan, tapir, beruang madu, hingga berbagai jenis rusa, kijang, kancil, babi hutan, dan trenggiling. Mamalianya saja tercatat lebih dari 20 jenis, beberapa di antaranya berstatus kritis dan dilindungi. Di kanopi hutan, lutung, beruk, dan owa berayun di antara pepohonan, menandakan hutan yang masih cukup sehat untuk menopang primata arboreal.

Dunia burung di Tesso Nilo tak kalah menakjubkan. Dari elang ular bido yang melayang anggun di langit, kuau yang berlenggak-lenggok di lantai hutan, hingga berbagai spesies rangkong—rangkong badak, rangkong papan, julang jambul hitam, enggang klihingan, kangkareng hitam—yang menjadi simbol hutan tropis Asia Tenggara. Belum lagi puluhan jenis burung madu, pijantung, raja udang, dan cekakak yang mengisi lapisan-lapisan hutan dari tanah hingga puncak kanopi. Di lantai hutan yang lembap, berbagai jenis katak dan reptil bersembunyi di antara serasah daun, sementara di sungai-sungai kecil, ikan baung, pantau, segitiga, dan julung-julung mengalir mengikuti arus.
Inilah yang membuat Tesso Nilo begitu penting: ia bukan hanya “kebun pohon” atau sekadar ruang hijau di peta, tetapi sebuah jaringan kehidupan yang rumit, di mana setiap spesies—dari harimau hingga jamur mikroskopis—punya peran dalam menjaga keseimbangan.
Namun, di balik kekayaan itu, ancaman terhadap Tesso Nilo sangat nyata. Pembukaan kebun sawit ilegal, perambahan, pembalakan liar, hingga kebakaran hutan terus menggerus habitat. Konflik ruang hidup antara satwa dan manusia makin sering terjadi: ketika hutan menyempit, gajah sumatra terpaksa keluar mencari makan ke kebun dan permukiman, memicu konflik yang merugikan kedua pihak. Hampir 60 persen kawasan kini berada dalam status tumpang tindih pemanfaatan—antara klaim taman nasional dan klaim masyarakat yang terlanjur membuka lahan.
Buku-buku dan laporan konservasi menyebut penyebabnya dengan kata yang keras: keserakahan dan ketamakan. Kayu diangkut keluar, lahan dijual, lalu dijadikan kebun sawit. Setelah itu muncul kampung-kampung baru yang merasa sah karena sudah lama tinggal di sana. Di titik ini, persoalan Tesso Nilo bukan lagi sekadar soal “hutan vs kebun”, tetapi juga keadilan sosial, tata kelola lahan, dan bagaimana negara mengelola transisi dari konsesi eksploitasi menuju kawasan konservasi.
Meski demikian, Tesso Nilo bukan hanya cerita tentang kerusakan. Ia juga ruang harapan. Di tengah segala tekanan, masih ada blok-blok hutan yang relatif baik dengan penutupan vegetasi lebih dari 90 persen. Berbagai program restorasi, penanaman kembali, penguatan patroli, penegakan hukum, hingga edukasi masyarakat terus dilakukan. Tesso Nilo juga dikembangkan sebagai destinasi wisata alam dan edukasi: pengamatan gajah liar, birdwatching, eksplorasi hutan dataran rendah, dan riset ilmiah menjadikannya semacam “laboratorium hidup” untuk mempelajari bagaimana hutan tropis bekerja—dan apa yang terjadi ketika hutan itu dipotong, dibakar, dan dipecah-pecah.
Pada akhirnya, masa depan Taman Nasional Tesso Nilo tidak hanya ditentukan oleh garis di peta atau ketebalan dokumen kebijakan, tetapi oleh pilihan kita sebagai masyarakat. Apakah kita melihatnya sebagai ruang yang harus “diperas” habis-habisan untuk keuntungan jangka pendek, atau sebagai warisan ekologis yang tak tergantikan untuk generasi mendatang? Pelestarian Tesso Nilo menuntut kolaborasi: pemerintah yang tegas, masyarakat yang diberdayakan, akademisi yang terus meneliti, lembaga konservasi yang konsisten, dan wisatawan yang datang bukan sekadar untuk berfoto, tetapi juga belajar dan peduli.
Karena selama gajah masih bisa berjalan di antara pepohonan Tesso Nilo, selama rangkong masih bisa terbang di atas kanopi, dan suara owa masih menggema di pagi hari, kita masih punya alasan untuk berharap bahwa hutan ini belum benar-benar kalah.
Jangan ketinggalan berita terkini dan konten menarik dari SerbaID!
Dukung Kami:
Belajar jadi mudah dan praktis!
Temukan eBook berkualitas di www.platihan.id dan upgrade kemampuanmu!
Belajar Mewarnai Jadi Lebih Kreatif
Mewarnai adalah salah satu cara belajar yang paling banyak diminati oleh anak-anak
Dengan gambar-gambar lucu dan menarik, ebook ini memberikan kesempatan bagi si kecil untuk berkreasi dan mengasah keterampilan motorik halus mereka
Siapkan krayon, Ajak si kecil Mewarnai!




